Ini cerita pribadi.
Meski aku working wife, ada satu kebiasaan lucu suamiku: Dia minta aku untuk membuatkannya bumbu soto dengan jumlah yang lumayan banyak. Bumbu itu kemudian akan disimpan di lemari pendingin (kulkas). Nanti ketika hasrat makan sotonya muncul, bumbu itu tinggal dia cemplungkan ke dalam air mendidih lalu dicampurlah dengan berbagai campuran selayaknya soto ayam (untuk ayam-nya,dia tinggal membeli ayam goreng dikantin kompleks). Seperti bumbu instant, aku sudah menumisnya terlebih dahulu. Cukup praktis juga membuatnya karena aku tinggal memblender bahan-bahan bumbu tersebut. hehehe
Maklum teman, aku dan suami tinggal di satu atap yang berbeda dari hari senin-jum’at. Suamiku bekerja pada sebuah Badan Usaha Milik Negara, dengan SK penempatan sementara ini disebuah kabupaten yang berjarak cukup jauh dari domisiliku, Makassar. Alhamdulillah masih dalam satu provinsi. Setidaknya itu yang memungkinkan kami untuk tetap bertemu paling tidak satu minggu tiga hari (jum’at sore-minggu malam).
Diterimanya aku bekerja di salah satu kantor akuntan publik di Makassar mengharuskan aku terpaksa sementara ini berjauhan dengan suamiku. Akibatnya,perjumpaanpun selama empat hari (senin-jum’at sore) pun harus terpangkas. Kasian? hhmm…yang terpenting adalah aku dan suami menjalani ini dengan perasaan happy. ^^
Dia sangat menggilai Soto Ayam. Tapi dia selalu merasa kerepotan jika harus membuatnya dari awal. Dulu ketika dia masih single, Ibu mertuaku yang sering membuatkan dan mengirimkannya kerumah via paket. Kalo sekarang, aku justru merasa menjadi seorang yang “tidak penting” jika sampai bumbu soto saja masih mengharapkan kiriman dari Ibuk! Hahaha.
“ Bagaimanapun sibuknya kamu sebagai seorang istri, kewajibanmu untuk mengurus suami adalah hal utama. Meski suamimu tidak memintanya, tapi suami mana yang tidak senang jika diperhatikan istrinya??kecuali kl dalam pernikahan tsb tidak ada rasa saling cinta. Bisa saja dia risih diperhatikan istrinya...?”
Itu wejangan dari Ibuku yang selalu didengungkannya pada hampir setiap pembicaraan beliau ditelpon. Wejangan seorang wanita yang tentunya hidup pada zamannya, dengan segala ideologi dan falsafah hidup yang tumbuh dan berkembang pada jiwa dan nuraninya.
Well, setiap nasihat yang baik patut didengarkan. Itu pesan Rasul bukan? Apalagi jika pesan tersebut sampainya lewat seorang Ibu? Mustahil membawa keburukan.
“Kewajiban seorang istri adalah mengurus suami” adalah sebuah kalimat yang terkesan seperti bermakna penjajahan, ada unsur perintah, dan semena-mena. Laki-laki seolah memiliki power (kekuasaan) untuk dilayani layaknya raja, dan istri adalah dayangnya. Itu makna sinis yang ditangkap bagi sebagian orang mengenai tagline tsb.
Lantas, bagaimana bila kata “mengurus suami” itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dan rasa kasihsayang? Bagaimana bila si istri telah menganggap mengurus suami adalah sebuah wujud tanggungjawabnya serta wujud ekspresi sifat keibuannya? Bagaimana ketika melakukan pengabdiannya tsb seorang istri melakukannya dengan tersenyum dan tanpa mengeluh? Apakah itu juga masih dimaknai sebagai suatu kalimat yang terkesan menjajah dan semena-mena dari seorang laki-laki?
Bagaimana jika pengabdian yang diberikan oleh seorang istri adalah bentuk rasa terimakasihnya kepada suami yang telah menjadi partner dalam hidupnya?
Bukankah istri-istri Rasul pada zamannya melakukan pengabdian kepada Rasul semata karena rasa kasihsayang dan hormatnya kepada Beliau?
Bagaimana jika hal serupa (baca: pengabdian dengan ketulusan dan rasa kasihsayang) terjadi pula pada kebanyakan wanita di negeri kita, teman? Apakah itu masih dianggap sebagai bentuk penjajahan? Dan apakah para suami yang menerima bentuk pengabdian tersebut adalah suami yang semena-mena serta tidak menyayangi istri?
Kembali pada pesan Ibuku: “….suami mana yang tidak senang jika diperhatikan Istrinya? kecuali kalau dalam pernikahan tsb tidak ada rasa saling cinta…”
Allahu’alam….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar