Seorang sahabat kemarin sms aku, yang isinya adalah menawarkanku atau saudaraku, atau kenalanku untuk masuk pns dengan jalur ‘belakang’. Kompensasi nominal yang harus dibayar gak tanggung-tanggung: ratusan juta rupiah.
Gosh…! I was surprised. Karena seingatku (mudah2an aku gak salah ingat), sahabatku ini masih memegang teguh nilai-nilai idealisme dalam beberapa hal.
Sebelumnya kasus serupa juga sering ditujukan padaku oleh seorang sahabat lainnya yang let say memang gemar bertransaksi beginian (mengerti kan kalian maksudku “beginian”?).
Seorang sahabat yang lain juga pernah curhat mengenai betapa pesimisnya dia berkompetisi memperebutkan jatah bangku di instansi pemerintahan atau Badan Usaha Milik Negara. Perasaan tersebut muncul lantaran betapa seringnya dia ditawari melalui jalur belakang dengan imbalan nominal yang fantastis! Semakin bonafid instansi,semakin tinggi kompensasinya.
Bahkan suamiku pernah bercerita dia pernah ditodong dengan pertanyaan bernada sinis dan nyinyir: “ bayar berapa masuk sana ?” . “duabelas ribu rupiah untuk dua buah materai”, Jawab suamiku sekenanya.
Aku tidak bisa mengatakan transaksi begini dikategorikan “haram”. Karena toh MUI pun sampai sekarang belum mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut,. Padahal nyata-nyata jalur seperti ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita. Bahkan pemerintahpun mengategorikan ini sebagai jalur ilegal. Bukankah segala sesuatu yang illegal itu sifatnya tidak sah? Dan segala sesuatu yang tidak sah itu adalah tidak diakui keberadaannya? Entahlah. Aku bukan pakar hukum yang patut membahas seputar legalitas dan hal terkait lainnya. Tapi yang pasti koq hati kecilku sampai sekarang sangat menentang hal begini dan sejenisnya yah?
“Beberapa sahabatku; beberapa keluargaku; bahkan suamiku mendapatkan itu tanpa melalui jalur belakang. Mereka berpeluh berjuang bersama ribuan manusia yang memiliki keinginan yang sama, bahkan beberapa di antaranya sempat kusaksikan sendiri perjuangannya. Mereka berjuang bukan berarti mereka merasa memiliki tingkat intelektualitas di atas rata-rata. Mereka sama seperti kita semua. Tidak ada yang istimewa."
Mungkin kalimat tsb bisa kujadikan senjata dalam menangkis setiap statement yang bernada pesimistis akan hal tersebut.
Namun aku juga perlu realistis bahwa ada pembelaan tandingan yang berkata bahwa
“ tidak semua bernasib sebaik beberapa sahabat; beberapa keluarga; atau suami mu”.
***
2 komentar:
"Beberapa sahabatku; beberapa keluargaku; bahkan suamiku mendapatkan itu tanpa melalui jalur belakang. "
It's me ^^
Alhamdulillah sobat! (^_~)
Posting Komentar