Kamis, 17 November 2011

There's a choise

Setiap jenjang dalam fase kehidupan memiliki fokus utama. Ketika anak2,fokusnya adalah bermain. Ketika memasuki masa sekolah dan kuliah, fokusnya adalah pada belajar. Ketika memasuki masa bekerja, yg menjadi fokus adalah pencapaian karir.  Begitupun ketika memasuki masa pernikahan,fokus kita pun terletak pada keharmonisan dan keselarasan kehidupan rumahtangga yang tengah kita jalani.

Atas dasar itulah aku sekarang menjatuhkan pilihan untuk mendampingi suamiku yang saat ini masih berdinas di salah satu kabupaten di Pulau Sulawesi Selatan.  Karir yang sempat kumulai di Makassar,dengan penuh kesadaran aku tanggalkan dulu. Setidaknya untuk sesaat.

Aku tidak mengatakan bahwa ketika menikah karir adalah sesuatu yang sepele, justru jika karir yang kita miliki adalah sesuatu yang urgent bagi rumahtangga kita, maka karir menjadi salah satu bagian dari keharmonisan  dan keselarasan dalam rumahtangga yang tengah kita jalani. Begitupun ketika pilihan karir kita akan membawa pada ketidakharmonisan dan ketidakselarasan dalam rumahtangga, maka karir yg sedang kita pilih tsb (bisa jadi ) bukan menjadi sesuatu yang wajib untuk dipertahankan.  Saatnya untuk beralih pada karir yang lain atau (jika dalam situasi yang benar2 mendesak) adalah memilih (antara karir atau keutuhan rumahtangga).

Jangan salah faham juga. Ketidakharmonisan yang aku maksud disini bukan berarti kehidupan rumahtangga yang kujalani selama aku bekerja penuh dengan suasana “panas”.  Bukan itu. Sejauh ini Alhamdulillah kehidupan rumahtanggaku relatif adem ayem, dan kalopun ada perselisihan, itu sebatas kerikil kecil dalam kehidupan rumahtangga keluarga pada umumnya.  Ketidakharmonisan yang kumaksudkan adalah lebih pada kedalaman “rasa tidak nyaman” yang aku miliki. Well,mungkin sebagian ada yang berfikir bahwa itu hanya bawaan hamil yang merubah kondisi psikologisku jadi lebih sensitif. Aku tidak langsung menolak mentah-mentah pendapat tersebut.  So,aku sempat melakukan beberapa perhitungan diatas hitam-putih mengenai beberapa untung rugi  terkait keputusan yang akan kuambil,serta alternatif penggantinya. Tidak ada intervensi. Termasuk dari suamiku. 

Memang, awalnya berat meninggalkan karir yang baru seumur jagung dan penuh dengan embel-embel prospek masa depan pribadi yang menjulang.  Tapi itulah sebuah pilihan manusia dewasa. Pilihan antara dua kemauan yang awal mula dianggap sama pentingnya.  

Surprisingly, Ketika mengajukan pengunduran diri, atasan yang kebetulan juga seorang wanita dan seorang Ibu rumahtangga menuturkan kisah yang tidak jauh berbeda dengan apa yang saat ini terjadi denganku. Keputusan yang diambil beliau sama dengan yang aku ambil saat ini. Malah saat itu beliau berada dalam kondisi yang jauh lebih memprihatinkan. Seharusnya pilihan karirnya menjadi sesuatu yang urgent.  Tapi itulah yang terjadi. Selalu ada pengganti yang jauh lebih baik  (bahkan diluar daya nalar manusia) untuk sesuatu yang telah kita korbankan dengan penuh keikhlasan. Terdengar seperti mitos. Tapi tak jarang banyak yang sudah mengalaminya. 
Terakhir, secara implisit, beliau menawarkanku untuk kembali kapanpun aku mau. 

Begitulah sedikit cerita dan pemikiran yang bisa kubagi. Sedikitpun aku tidak menyesal atas keputusan mengawali karir kemarin dan harus mengakhirinya secepat ini (setidaknya saat ini). Dan keseharian yang kujalani sekarang kembai pada rutinitas sebelumnya, dengan sedikit perubahan tentunya. Harapanku tidak muluk. Hanya sebuah keharmonisan, kesuksesan, kesejahteraan, dan rasa nyaman yang langgeng secara generate,bukan dalam bingkai parsialitas individu yang tinggal dalam satu atap. 

Aku mencintai keluarga kecilku melebihi kecintaanku pada karirku saat ini.



                                                                                      *** 

1 komentar:

sketsa mengatakan...

Masalah klasik perempuan. Hidup memang pilihan. Yang penting ikhlas dan menikmati. Semoga semua hal terbaik untukmu, Masayu :)