Bohong banget kalau dalam mengarungi bahtera rumahtangga, saya dan suami tidak pernah yang namanya selisih faham. Perkara sampai berantem atau enggak itu tergantung pada level perdebatan kita. Kasus yang terjadi biasanya bervariatif. Kalau awal masa pernikahan dulu, biasanya sih masalah sensitivitas yang kurang ter-asah. Suami saya yang cenderung datar dan lempeng terkadang tidak bisa membaca ekspresi perasaan saya yang cenderung diam kalo ngambek.
Pernah suatu ketika di awal pernikahan dulu, karena suatu hal, saya ngambek dengan suami. Ekspresi ngambek saya tunjukkan dengan bilang "gak mau masak malem ini. Kita makan mie instan aja."
Habis bilang begitu saya diam, masuk kamar (pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka).
Alih alih sang suami datang dan melancarkan sejuta rayuan, dia malah ke kamar dan menutup pintu dari luar. Begitu tahu pintu kamar ditutup, saya pun nangis makin keras dengan harapan sang suami tau. Ehh tetap gak ada respon.
Karena penasaran, saya lalu keluar kamar dan berniat menghentikan drama ngambeknya. Begitu saya keluar, betapa kagetnya saya. Ternyata sang suami dengan santainya sedang nonton tivi sambil makan mie instan trus bilang "Loh, gak jadi tidur?"
Oh Em Ji....! Suamikuuuuuu....! %$##@*#!
Akhirnya amarah saya makin menggumpal. Dengan airmata yang bercucuran (lebay yah?) saya bilang kalau saya sedang marah sama dia. Tau jawabannya? "Oh...Mas kira tadi gak enak badan makanya bilang gak mau masak...Makanya tadi Mas tutup pintu kamarnya biar bisa istirahat"
Gubraaakkk! hahaha.
Di posisi saya pun sama. Dibalik sifat datar nya itu, suami saya sebenarnya tipe melow. Ada masa dimana beberapa kali saya gak 'ngeh' kalau dia sedang marah. Mungkin saya yang cenderung barbar (meminjam istilah Mbak Meidi) kali yah jadi kurang sensitif sama perubahan sikap tanpa dibarengi perubahan mimik wajah?hahaha.
Itu dulu.
Kalau sekarang sih lebih pada kesadaran aja. Biasanya kita sudah tahu kalau ada salah satu dari kita sedang marah atau ngambek. Kalau masing-masing merasa benar, biasanya saya dan suami memberi jeda pada komunikasi beberapa saat. Tapi tidak juga membiarkan sampai pada hitungan hari.
Kalau sedang berjauhan biasanya bisa satu jam lebih (tiga-empat jam kan lebih dari satu jam to?hihihi). Tapi kalau sedang samasama sih gak sampai satu jam lah.
Tanpa bermaksud sok memberikan tips, jika saya tarik benang merahnya, sampai saat di usia dua tahun lebih pernikahan, ada dua hal yang don't do ketika sedang ada selisih faham dengan pasangan:
1. Berdebat ketika sedang kondisi hati sama-sama panas.
2. Jeda komunikasi yang terlalu lama (apalagi sampai berhari-hari)
3. Sembarang curhat problem rumahtangga. Apalagi ke banyak pihak/wilayah publik. (As a moslem, bukankah ada tuntunan yang meng istilahkan bahwa kita adalah pakaian dari masing-masing pasangan kita?)
3. Sembarang curhat problem rumahtangga. Apalagi ke banyak pihak/wilayah publik. (As a moslem, bukankah ada tuntunan yang meng istilahkan bahwa kita adalah pakaian dari masing-masing pasangan kita?)
4. Curhat ke lawan jenis even yang kita sebut sebagai sahabat (mungkin ini dianggap sedikit konservatif bagi sebagian pasangan)
4. (Kalau bisa) ngadu ke ortu masing-masing. Bukan gak percaya sama orangtua sih. Tapi dikhawatirkan terjadi ketidaknetralan pendapat yg menjurus ke arah tendensi pembelaan. Kecuali percekcokan makin tajam yah. Kita butuh 'perekat' yang bisa kembali mempersatukan. So, meski gak rasional bagi ego kita, asal tujuannya minta kita akur lagi sama suami/istri kita sih wajib lah dimintai pendapatnya ortu.
do:
Masa-masa romantis waktu pedekate dan/atau kehadiran anak mungkin bisa jadi sarana buat berdamai dengan hati kalau percekcokan sama suami/istri makin tajam. Dengan bagitu mudah-mudahan gak berlarut-larut deh...
"Semoga perjalanan kehidupan rumahtangga saya dan teman semua senantiasa dilimpahi keberkahan dan kebahagiaan. Aamiin Yaa Robbal'alamiin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar