Film pertama yang akan saya ceritakan ini belakangan sempat jadi kontroversi di kalangan komunitas Nahdatul Ulama,lantaran menampikan komunitas Barisan Ansor Serba Guna (banser) yang menurut tokoh NU tidak sesuai fakta sebenarnya.
Tapi terlepas dari itu, film karya Hanung Bramantyo ini menurutku terbilang menarik dan berkualitas bila dibandingan film tanah air kebanyakan. Alur cerita jelas dan sesuai dengan pesan yang hendak disampaikan. Ceritapun mengalir tanpa ada kesan menggurui, meski ada beberapa scen yang mencirikan Hanung banget, serta beberapa cerita yang dibuat dramatisir. Tapi itu semua masih dalam batas wajar selayaknya karya fiksi.
Bagi sebagian orang, film besutan penulis skenario Titien Wattimena ini dianggap menyudutkan Islam dan melanggar beberapa aturan agama seperti; Surya (Agus Kuncoro), seorang muslim tapi melibatkan diri dalam pementasan drama di sebuah gereja katholik ; Menuk (Revalina S.Temat), seorang muslim namun bekerja di sebuah restoran cina yang menyediakan panganan babi; atau Rika (Endhita) yang sebelumnya beragama Islam lantas menjadi penganut katholik lantaran “kecewa” dengan (mantan) suaminya yang hendak meminta berpoligami; serta sosok Soleh (Reza Rahadian) yang di anggap agamanya bagus (shaleh) namun memiliki perangai temperamental.
Tapi (masih) menurutku, penonton juga selayaknya tidak menafikan bahwa sang sutradara berusaha menampilkan sisi manusiawi dalam cerita tersebut. Diceritakan bagian-bagian dimana para tokoh merasakan gejolak batin yang hebat pada setiap keputusan yang di ambilnya. Pun digambarkan bagaimana usaha keras mereka untuk memilih serta mempertahankan keimanan dalam diri masing-masing meski berada dalam komunitas yang berbeda.
Agar seimbang, sutradara juga mencoba menampilkan sosok “antagonis” di masing-masing agama. Doni (Glenn Fredly), seorang penganut katholik yang sinis terhadap muslim, serta Tan Kat Sun (Hengky Sulaeman) yang temperamental, masih dalam masa pencarian jati diri, dan begitu membenci Islam lantaran sakit hatinya ditinggal Menuk yang lebih memilih Soleh karena seiman.
Dalam film ini, tidak semua muslim ditampilkan (seolah-olah) kasar, temperamental, suka berpoligami dan labil dalam mempertahankan keimanan serta aqidahnya. Tokoh muslim yang teguh pendirian terhadap akidahnya dan berperangai santun digambarkan pada sosok Menuk, serta Ustadz (David Chalik) yang penyabar dan bijaksana. Pada agama Katholik, sosok penuh welas asih digambarkan dalam diri seorang Romo Gereja Santo Paulus (Dedy Soetomo), dan pada agama Kong Hu Cu, diwakilkan oleh majikan Menuk, Lim Giok Lie (Edyman) dan istri yang penuh toleransi dan kasihsayang.
Pada akhir cerita, Ada adegan dimana ditemukan sebuah bom di dalam gereja katholik yang tidak diketahui pengirimnya. Tidak pula disitu digambarkan bahwa “tersangka”nya adalah ummat muslim. Justru dalam film tersebut diceritakan bahwa yang menyelamatkan jemaat gereja dari ledakan bom tersebut adalah seorang muslim (Sholeh).
Sosok Rika pun dalam cerita tsb digambarkan meski sudah menganut Katholik, masih memendam aqidah Islam lewat defenisi Tuhan yang dijabarkannya melalui “Asmaul Husna”.
Lim Giok Lie, sebelum wafat mewariskan amanah pada anaknya, Tan Kat Sun, untuk mempelajari agama Islam yang pada akhir cerita menuntunnya menjadi mualaf.
Ketika ada adegan dimana Sholeh dan jemaah masjid lainnya melakukan penyerangan ke restoran milik Lim Giok Lie, menurut saya adegan tersebut bukan hendak menggambarkan bahwa Islam itu kasar dan radikal seperti kritik beberapa pihak, tapi yang hendak disampaikan justru pesan untuk dapat menjaga sikap toleransi yang seharusnya difahami oleh warga muslim dan non muslim. Juga pesan bahwa kesalahfahaman dan sikap gegabah bisa menimbulkan pertikaian yang sia-sia.
Jadi menurut saya, gambaran tokoh serta cerita dalam film ini cukup adil dan tidak terkesan mendeskreditkan agama tertentu,apalagi Islam.
Jadi menurut saya, gambaran tokoh serta cerita dalam film ini cukup adil dan tidak terkesan mendeskreditkan agama tertentu,apalagi Islam.
Namun sedikit kritik dari saya adalah, dalam beberapa karyanya, mengapa Hanung gemar sekali me “mati”kan salah satu tokoh dalam hampir setiap episode cinta segitiga? Juga bagi Revalina S. Temat, ini adalah kali ke dua nya dia berperan sebagai sosok wanita muslimah yang ditinggal wafat suaminya (setelah sebelumnya cerita serupa dalam Perempuan Berkalung Sorban). Hehehe
Begitu setidaknya pendapat saya. Saya memaknai film ini murni sebatas sebagai penikmat karya sineas, tidak sebagai posisi ulama ataupun cendikia muslim yang berkompeten. Jadi, silahkan teman-teman nikmati film ini, dan temukan pesan moril serta kritik sendiri di dalamnya. :)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar